Senin, 07 Februari 2011

AWAL MULA SENI JATILAN



Pada masa kekuasaan pemerintahan Jawa dijalankan dibawah kerajaan, aspirasi dan ruang bergumul rakyat begitu dibatasi, karena perbedaan klas dan alasan kestabilan kerajaan. Meski dalam kondisi tertekan, rakyat tidaklah mungkin melakukan perlawanan secara langsung terhadap penguasa. Rakyat sadar bahwa untuk melakukan perlawan, tidak cukup hanya dengan bermodalkan cangkul dan parang, namun dibutuhkan kekuatan dan kedigdayaan serta logistic yang cukup. Menyadari hal itu, akhirnya luapan perlawanan yang berupa sindiran diwujudkan dalam bentuk kesenian, yaitu kuda lumping. Sebagai tontonan dengan mengusung nilai-nilai perlawanan, sebenarnya kuda lumping juga dimaksudkan untuk menyajikan tontonan yang murah untuk rakyat. Disebut sebagai tontonan yang murah meriah karena untuk memainkannya tidak perlu menghadirkan peralatan musik yang banyak sebagaimana karawitan. Dipilih kuda, karena kuda adalah simbol kekuatan dan kekuasaan para elit bangsawan dan prajurit kerajaan ketika itu yang tidak dimiliki oleh rakyat jelata. Permainan Kuda Lumping dimainkan dengan tanpa mengikuti pakem seni tari yang sudah ada dan berkembang dilingkungan ningrat dan kerajaan. Dari gerakan tarian pemainnya tanpa menggunakan pakem yang sudah mapan sebelumnya menunjukkan bahwa seni ini hadir untuk memberikan perlawanan terhadap kemapanan kerajaan.

Selain sebagai media perlawanan seni Kuda Lumping juga dipakai oleh para ulama sebagai media dakwah, karena kesenian Kuda Lumping merupakan suatu kesenian yang murah dan cukup digemari oleh semua kalangan masyarakat, seperti halnya Sunan Kalijogo yang menyebarkan Islam atau dakwahnya lewat kesenian Wayang Kulit dan Dandang Gulo, beliau dan para ulama jawa juga menyebarkan dakwahnya melalui kesenian-kesenian lain yang salah satunya adalah seni kuda lumping,

Bukti bahwa kesenian ini adalah kesenian yang mempunyai sifat dakwah adalah dapat dilihat dari isi cerita yang ditunjukan oleh karakter para tokoh yang ada dalam tarian Kuda Lumping, tokoh-tokoh itu antara lain para prajurit berkuda, Barongan dan Celengan. Dalam kisahnya para tokoh tersebut masing-masing mempunyai sifat dan karakter yang berbeda, simbul Kuda menggambarkan suatu sifat keperkasaan yang penuh semangat, pantang menyerah, berani dan selalu siap dalam kondisi serta keadaan apapun, simbul kuda disini dibuat dari anyaman bambu, anyaman bambu ini memiliki makna, dalam kehidupan manusia ada kalannya sedih, susah dan senang, seperti halnya dengan anyaman bambu kadang diselipkan keatas kadang diselipkan kebawah, kadang kekanan juga kekiri semua sudah ditakdirkan oleh yang kuasa, tinggal manusia mampu atau tidak menjalani takdir kehidupan yang telah digariskan Nya, Barongan dengan raut muka yang menyeramkan, matanya membelalak bengis dan buas, hidungnya besar, gigi besar bertaring serta gaya gerakan tari yang seolah-olah menggambarkan bahwa dia adalah sosok yang sangat berkuasa dan mempunyai sifat adigang, adigung, adiguno yaitu sifat semaunnya sendiri, tidak kenal sopan santun dan angkuh, simbul Celengan atau Babi hutan dengan gayanya yang sludar-sludur lari kesana kemari dan memakan dengan rakus apa saja yang ada dihadapanya tanpa peduli bahwa makanan itu milik atau hak siapa, yang penting ia kenyang dan merasa puas, seniman kuda lumping mengisyaratkan bahwa orang yang rakus diibaratkan seperti Celeng atau Babi hutan.

Sifat dari para tokoh yang diperankan dalam seni tari kuda lumping merupakan pangilon atau gambaran dari berbagai macam sifat yang ada dalam diri manusia. Para seniman kuda lumping memberikan isyarat kepada manusia bahwa didunia ini ada sisi buruk dan sisi baik, tergantung manusianya tinggal ia memilih sisi yang mana, kalau dia bertindak baik berarti dia memilih semangat kuda untuk dijadikan motifsi dalam hidup, bila sebaliknya berarti ia memlih semangat dua tokoh berikutnya yaitu Barongan dan Celengan atau babi hutan.

Banyak orang yang salah paham dalam memaknai seni Kuda lumping, mereka beranggapan bahwa para pelaku seni kuda lumping adalah pemuja roh hewan seperti roh kuda, anggapan itu adalah salah, simbul kuda disini hanya diambil semangatnya untuk memotifsi hidup, sama halnya dengan seporter sepak bola di Indonesia, di kota Malang misalnya, mereka menganggap bahwa dirinya adalah Singo Edan, seporter bola di Surabaya mereka menamakan dirinya Bajol Ijo, bahkan Negara Indonesia sendiri menggunakan sosok hewan sebagai lambang Negara yaitu seekor burung Garuda, yang kesemuanya itu adalah nama-nama hewan, jadi merupakan hal yang salah bila kesenian Kuda Lumping dianggab kelompok kesenian yang mendewakan hewan.

Sekelompok orang juga beranggapan bahwa kesenian Kuda Lumping dengan dengan kemusyrikan karena identik dengan kesurupan atau kalap, kemenyan, dupa dan bunga bungaan, anggapan bahwa kuda lumping dekat dengan kemusyrikan adalah tidak benar, justru para pelaku seni Kuda Lumping berusaha mengingatkan manusia bahwa di dunia ini ada dua macam alam kehidupan, ada alam kehidupan nyata dan alam kehidupan Gaib hal ini telah dijelaskan dalam Alqur`an surat Anas dan manusia wajib untuk mengimaninya. Fenomena kalap atau kesurupan bisa terjadi dimana saja dan dapat menimpa siapa saja, baik dikalangan arena Kuda Lumping maupun tempat-tempat formal seperti Sekolahan atau Pabrik, hal itu tergantung pada kondisi fisik dan Psikologis individu yang bersangkutan, sedangkan kemenyan, dupa dan bunga-bungaan tidak lebih dari sekedar wewangian yang tidak pernah dilarang dalam Islam bahkan dianjurkan penggunaanya.

Selain para tokoh yang telah disebutkan, dalam kesenian kuda lumping warna juga memiliki makna, warna yang dominan dalam kesenian ini ada tiga, warna merah, hitam dan putih, masing-masing warna tersbut secara filosois juga memiliki makna yang berbeda, warna merah melambangkan kebernian, kewibawaan dan semangat kepahlawanan, warna putih melambangkan kesucian, makna kesucian disini adalah kesucian pikiran dan hati yang akan direfleksikan dalam semua panca indera sehingga menghasilakan suatu tindak-tanduk yang selaras dan dapat dijadikan panutan, warna hitam

Seni Kuda lumping merupakan jenis kesenian rakyat yang sederhana, dalam pementasanya tidak diperlukan suatu koreografi khusus serta perlengkapan peralatan gamelan seperti halnya karawitan, gamelan untuk mengiringi seni kuda lumping cukup sederhana, hanya terdiri dari satu buah kendang, dua buah kenong, dua buah gong dan sebuah selompret, sajak-sajak yang dibawakan dalam mengiringi tarian semuanya berisikan himbauan agar manusia senantiasa melakukan perbuatan baik dan selalu eling ingat pada sang pencipta.

Secara filosofis masing-masing alat musik yang digunakan dalam mengiringi tari kuda lumping juga memiliki makna yang berbeda, kendang berbunyi ndang…ndang…tak…ndlab mempunyai makna yen wis titiwancine ndang-ndango mangkat ngadeb marang pengeran yang mempunyai arti kalau sudah waktunya cepat-cepat bangun menghadap tuhanmu, dalam melakukan ibadah jangan suka ditunda-tunda kenong ……. Bendhe ……. Gong ……..

TARI KUDA LUMPING


Kuda Lumping adalah seni tari yang dimainkan dengan properti berupa kuda tiruan, yang terbuat dari anyaman bambu atau kepang. Tidak satupun catatan sejarah mampu menjelaskan asal mula tarian ini, hanya riwayat verbal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Konon, tari Kuda Lumping merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda. Ada pula versi yang menyebutkan, bahwa tari Kuda Lumping menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Versi lain menyebutkan bahwa, tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda.

Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, tari Kuda Lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.

Seringkali dalam pertunjukan tari Kuda Lumping, juga menampilkan atraksi yang mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain. Mungkin, atraksi ini merefleksikan kekuatan supranatural yang pada jaman dahulu berkembang di lingkungan Kerajaan Jawa, dan merupakan aspek non militer yang dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda.

Di Yogyakarta, seni ini akrab dengan masyarakat di beberapa daerah, seperti Sleman, Bantul, Kulon Progo, dan daerah-daerah lainnya. Tari ini biasanya ditampilkan pada event-event tertentu, seperti menyambut tamu kehormatan, tasyukuran, pesta pernikahan, ulang tahun, khitanan, dan sebagai ucapan syukur, atas hajat yang dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa.

Dalam pementasanya, tidak diperlukan suatu koreografi khusus, serta perlengkapan peralatan gamelan seperti halnya Karawitan. Gamelan untuk mengiringi tari Kuda Lumping cukup sederhana, hanya terdiri dari Kendang, Kenong, Gong, dan bendhe. Sajak-sajak yang dibawakan dalam mengiringi tarian, biasanya berisikan himbauan agar manusia senantiasa melakukan perbuatan baik dan selalu ingat pada Sang Pencipta.

Selain mengandung unsur hiburan dan religi, kesenian tradisional Kuda Lumping ini seringkali juga mengandung unsur ritual. Karena sebelum pagelaran dimulai, biasanya seorang pawang hujan akan melakukan ritual, untuk mempertahankan cuaca agar tetap cerah mengingat pertunjukan biasanya dilakukan di lapangan terbuka.

Untuk memulihkan kesadaran para penari dan penonton yang kerasukan, dalam setiap pagelaran selalu hadir para pawang, yaitu orang yang memiliki kemampuan supranatural yang kehadirannya dapat dikenali melalui baju serba hitam yang dikenakannya. Para pawang ini akan memberikan penawar hingga kesadaran para penari maupun penonton kembali pulih.

SEJARAH JATILAN


Konon, tari kuda lumping merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda. Ada pula versi yang menyebutkan, bahwa tari kuda lumping menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Versi lain menyebutkan bahwa, tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda.
Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, tari kuda lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.
Seringkali dalam pertunjukan tari kuda lumping, juga menampilkan atraksi yang mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain. Mungkin, atraksi ini merefleksikan kekuatan supranatural yang pada jaman dahulu berkembang di lingkungan Kerajaan Jawa, dan merupakan aspek non militer yang dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda.

KUDA LUMPING: Kesenian Tradisional Indonesia Bernuansa Magis


Ada satu permainan…
Permainan, unik sekali…
Orang naik kuda, tapi kuda bohong….
Namanya kuda lumping.....
Itu kuda lumping, kuda lumping, kuda lumping lompat-lompatan....
Sebait potongan lagu dangdut milik Rhoma Irama di atas terinspirasi dari permainan kesenian rakyat, tari kuda lumping, yang hingga kini masih tumbuh berkembang di banyak kelompok masyarakat di nusantara. Tarian tradisional yang dimainkan secara ”tidak berpola” oleh rakyat kebanyakan tersebut telah lahir dan digemari masyarakat, khususnya di Jawa, sejak adanya kerajaan-kerajaan kuno tempo doeloe. Awalnya, menurut sejarah, seni kuda lumping lahir sebagai simbolisasi bahwa rakyat juga memiliki kemampuan (kedigdayaan) dalam menghadapi musuh ataupun melawan kekuatan elite kerajaan yang memiliki bala tentara. Di samping, juga sebagai media menghadirkan hiburan yang murah-meriah namun fenomenal kepada rakyat banyak.
Kini, kesenian kuda lumping masih menjadi sebuah pertunjukan yang cukup membuat hati para penontonnya terpikat. Walaupun peninggalan budaya ini keberadaannya mulai bersaing ketat oleh masuknya budaya dan kesenian asing ke tanah air, tarian tersebut masih memperlihatkan daya tarik yang tinggi. Hingga saat ini, kita tidak tahu siapa atau kelompok masyarakat mana yang mencetuskan (menciptakan) kuda lumping pertama kali. Faktanya, kesenian kuda lumping dijumpai di banyak daerah dan masing-masing mengakui kesenian ini sebagai salah satu budaya tradisional mereka. Termasuk, disinyalir beberapa waktu lalu, diakui juga oleh pihak masyarakat Johor di Malaysia sebagai miliknya di samping Reog Ponorogo. Fenomena mewabahnya seni kuda lumping di berbagai tempat, dengan berbagai ragam dan coraknya, dapat menjadi indikator bahwa seni budaya yang terkesan penuh magis ini kembali ”naik daun” sebagai sebuah seni budaya yang patut diperhatikan sebagai kesenian asli Indonesia.
Dipecut, Makan Beling dan Semburan Api
Entah hal apa yang bisa membuat para pemainnya ini seperti orang kesurupan. Dilihat dari cara permainannya, para penari kuda lumping seperti mempunyai kekuatan maha besar, bahkan terkesan memiliki kekuatan supranatural. Kesenian tari yang menggunakan kuda bohong-bohongan terbuat dari anyaman bambu serta diiringi oleh musik gamelan seperti; gong, kenong, kendang dan slompret ini, ternyata mampu membuat para penonton terkesima oleh setiap atraksi-atraksi penunggan (penari) kuda lumping. Hebatnya, penari kuda lumping tradisional yang asli umumnya diperankan oleh anak putri yang berpakaian lelaki bak prajurit kerajaan. Saat ini, pemain kuda lumping lebih banyak dilakoni oleh anak lelaki.
Bunyi sebuah pecutan (cambuk) besar yang sengaja dikenakan para pemain kesenian ini, menjadi awal permainan dan masuknya kekuatan mistis yang bisa menghilangkan kesadaran si-pemain. Dengan menaiki kuda dari anyaman bambu tersebut, penunggan kuda yang pergelangan kakinya diberi kerincingan ini pun mulai berjingkrak-jingkrak, melompat-lompat hingga berguling-guling di tanah. Selain melompat-lompat, penari kuda lumping pun melakukan atraksi lainnya, seperti memakan beling dan mengupas sabut kelapa dengan giginya. Beling (kaca) yang dimakan adalah bohlam lampu yang biasa sebagai penerang rumah kita. Lahapnya ia memakan beling seperti layaknya orang kelaparan, tidak meringis kesakitan dan tidak ada darah pada saat ia menyantap beling-beling tersebut.
Jika dilihat dari keseluruhan permainan kuda lumping, bunyi pecutan yang tiada henti mendominasi rangkaian atraksi yang ditampilkan. Agaknya, setiap pecutan yang dilakukan oleh sipenunggang terhadap dirinya sendiri, yang mengenai kaki atau bagian tubuhnya yang lain, akan memberikan efek magis. Artinya, ketika lecutan anyaman rotan panjang diayunkan dan mengenai kaki dan tubuhnya, si penari kuda lumping akan merasa semakin kuat, semakin perkasa, semakin digdaya. Umumnya, dalam kondisi itu, ia kan semakin liar dan kuasa melakukan hal-hal muskil dan tidak masuk diakal sehat manusia normal.
Semarak dan kemeriahan permainan kuda lumping menjadi lebih lengkap dengan ditampilkannya atraksi semburan api. Semburan api yang keluar dari mulut para pemain lainnya, diawali dengan menampung bensin di dalam mulut mereka lalu disemburkan pada sebuah api yang menyala pada setangkai besi kecil yang ujungnya dibuat sedemikian rupa agar api tidak mati sebelum dan sesudah bensin itu disemburkan dari mulutnya. Pada permainan kuda lumping, makna lain yang terkandung adalah warna. Adapun warna yang sangat dominan pada permaian ini yaitu; merah, putih dan hitam. Warna merah melambangkan sebuah keberanian serta semangat. Warna putih melambangkan kesucian yang ada didalam hati juga pikiran yang dapat mereflesikan semua panca indera sehingga dapat dijadikan sebagai panutan warna hitam.
Sebagai sebuah atraksi penuh mistis dan berbahaya, tarian kuda lumping dilakukan di bawah pengawasan seorang ”pimpinan supranatural”. Biasanya, pimpinan ini adalah seorang yang memiliki ilmu ghaib yang tinggi yang dapat mengembalikan sang penari kembali ke kesadaran seperti sedia kala. Dia juga bertanggung-jawab terhadap jalannya atraksi, serta menyembuhkan sakit yang dialami oleh pemain kuda lumping jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan dan menimbulkan sakit atau luka pada si penari. Oleh karena itu, walaupun dianggap sebagai permainan rakyat, kuda lumping tidak dapat dimainkan oleh sembarang orang, tetapi harus di bawah petunjuk dan pengawasan sang pimpinannya.
Perlu Terus Dipelihara dan Dikembangkan
Secara garis besar, begitu banyak kesenian serta kebudayaan yang ada di Indonesia diwariskan secara turun-menurun dari nenek moyang bangsa Indonesia hingga ke generasi saat ini. Sekarang, kita sebagai penerus bangsa merupakan pewaris dari seni budaya tradisional yang sudah semestinya menjaga dan memeliharanya dengan baik. Tugas kita adalah mempertahankan dan mengembangkannya, agar dari hari ke hari tidak pupus dan hilang dari khasanah berkesenian masyarakat kita.
Satu hal yang harus kita waspadai bahwa Indonesia masih terus dijajah hingga sekarang dengan masuknya kebudayaan asing yang mencoba menyingkirkan kebudayaan-kebudayaan lokal. Oleh karena itu, kita sebagai generasi penerus bangsa bangkitlah bersama untuk mengembalikan kembali kebudayaan yang sejak dahulu ada dan jangan sampai punah ditelan zaman modern ini. Untuk itu, kepada Pemerintah dan masyarakat diharapkan agar secara terus-menerus menelurusi kembali kebudayaan apa yang hingga saat ini hampir tidak terdengar lagi, untuk kemudian dikembangkan dan dilestarikan kembali nilai-nilai kebudayaan Indonesia. (Teks & foto Yosef)
Komentar