Turonggo Mudho Agung Budoyo
Kamis, 14 Juli 2011
kumpulan mp3 TMAB
Turonggo MUdho Agung Budoyo - Enggal Bali.mp3
Turonggo Mudho Agung Budoyo - Turi - Turi Putih.mp3
Turonggo Mudho Agung Budoyo - Titip Kangen.mp3
Turonggo Mudho Agung Budoyo - Tinggal Kenangan.mp3
Turonggo MUdho Agung Budoyo - Keno Godho.mp3
Turonggo Mudho Agung Budoyo - Jambu Alas.mp3
Turonggo Mudho Agung Budoyo - Gambang Suling.mp3
Turonggo MUdho Agung Budoyo - Putri Sari Nande.mp3
Turonggo MUdho Agung Budoyo - Setyo Tuhu.mp3
Turonggo MUdho Agung Budoyo - Lungiting Asmoro.mp3
Turonggo Mudho agung Budoyo - Tresnowati.mp3
Turonggo Mudho Agung Budoyo - Meh Rahino.mp3
Turonggo Mudho Agung Budoyo - Turi - Turi Putih.mp3
Rabu, 20 April 2011
Vidio "TMAB" Yen Ing Tawang Ono Lintang
Vidio "TMAB" Alun" Nganjuk 2
Vidio "TMAB" Alun2 Nganjuk 2 ( Live Mranggen )
Senin, 07 Februari 2011
AWAL MULA SENI JATILAN
Pada masa kekuasaan pemerintahan Jawa dijalankan dibawah kerajaan, aspirasi dan ruang bergumul rakyat begitu dibatasi, karena perbedaan klas dan alasan kestabilan kerajaan. Meski dalam kondisi tertekan, rakyat tidaklah mungkin melakukan perlawanan secara langsung terhadap penguasa. Rakyat sadar bahwa untuk melakukan perlawan, tidak cukup hanya dengan bermodalkan cangkul dan parang, namun dibutuhkan kekuatan dan kedigdayaan serta logistic yang cukup. Menyadari hal itu, akhirnya luapan perlawanan yang berupa sindiran diwujudkan dalam bentuk kesenian, yaitu kuda lumping. Sebagai tontonan dengan mengusung nilai-nilai perlawanan, sebenarnya kuda lumping juga dimaksudkan untuk menyajikan tontonan yang murah untuk rakyat. Disebut sebagai tontonan yang murah meriah karena untuk memainkannya tidak perlu menghadirkan peralatan musik yang banyak sebagaimana karawitan. Dipilih kuda, karena kuda adalah simbol kekuatan dan kekuasaan para elit bangsawan dan prajurit kerajaan ketika itu yang tidak dimiliki oleh rakyat jelata. Permainan Kuda Lumping dimainkan dengan tanpa mengikuti pakem seni tari yang sudah ada dan berkembang dilingkungan ningrat dan kerajaan. Dari gerakan tarian pemainnya tanpa menggunakan pakem yang sudah mapan sebelumnya menunjukkan bahwa seni ini hadir untuk memberikan perlawanan terhadap kemapanan kerajaan.
Selain sebagai media perlawanan seni Kuda Lumping juga dipakai oleh para ulama sebagai media dakwah, karena kesenian Kuda Lumping merupakan suatu kesenian yang murah dan cukup digemari oleh semua kalangan masyarakat, seperti halnya Sunan Kalijogo yang menyebarkan Islam atau dakwahnya lewat kesenian Wayang Kulit dan Dandang Gulo, beliau dan para ulama jawa juga menyebarkan dakwahnya melalui kesenian-kesenian lain yang salah satunya adalah seni kuda lumping,
Bukti bahwa kesenian ini adalah kesenian yang mempunyai sifat dakwah adalah dapat dilihat dari isi cerita yang ditunjukan oleh karakter para tokoh yang ada dalam tarian Kuda Lumping, tokoh-tokoh itu antara lain para prajurit berkuda, Barongan dan Celengan. Dalam kisahnya para tokoh tersebut masing-masing mempunyai sifat dan karakter yang berbeda, simbul Kuda menggambarkan suatu sifat keperkasaan yang penuh semangat, pantang menyerah, berani dan selalu siap dalam kondisi serta keadaan apapun, simbul kuda disini dibuat dari anyaman bambu, anyaman bambu ini memiliki makna, dalam kehidupan manusia ada kalannya sedih, susah dan senang, seperti halnya dengan anyaman bambu kadang diselipkan keatas kadang diselipkan kebawah, kadang kekanan juga kekiri semua sudah ditakdirkan oleh yang kuasa, tinggal manusia mampu atau tidak menjalani takdir kehidupan yang telah digariskan Nya, Barongan dengan raut muka yang menyeramkan, matanya membelalak bengis dan buas, hidungnya besar, gigi besar bertaring serta gaya gerakan tari yang seolah-olah menggambarkan bahwa dia adalah sosok yang sangat berkuasa dan mempunyai sifat adigang, adigung, adiguno yaitu sifat semaunnya sendiri, tidak kenal sopan santun dan angkuh, simbul Celengan atau Babi hutan dengan gayanya yang sludar-sludur lari kesana kemari dan memakan dengan rakus apa saja yang ada dihadapanya tanpa peduli bahwa makanan itu milik atau hak siapa, yang penting ia kenyang dan merasa puas, seniman kuda lumping mengisyaratkan bahwa orang yang rakus diibaratkan seperti Celeng atau Babi hutan.
Sifat dari para tokoh yang diperankan dalam seni tari kuda lumping merupakan pangilon atau gambaran dari berbagai macam sifat yang ada dalam diri manusia. Para seniman kuda lumping memberikan isyarat kepada manusia bahwa didunia ini ada sisi buruk dan sisi baik, tergantung manusianya tinggal ia memilih sisi yang mana, kalau dia bertindak baik berarti dia memilih semangat kuda untuk dijadikan motifsi dalam hidup, bila sebaliknya berarti ia memlih semangat dua tokoh berikutnya yaitu Barongan dan Celengan atau babi hutan.
Banyak orang yang salah paham dalam memaknai seni Kuda lumping, mereka beranggapan bahwa para pelaku seni kuda lumping adalah pemuja roh hewan seperti roh kuda, anggapan itu adalah salah, simbul kuda disini hanya diambil semangatnya untuk memotifsi hidup, sama halnya dengan seporter sepak bola di Indonesia, di kota Malang misalnya, mereka menganggap bahwa dirinya adalah Singo Edan, seporter bola di Surabaya mereka menamakan dirinya Bajol Ijo, bahkan Negara Indonesia sendiri menggunakan sosok hewan sebagai lambang Negara yaitu seekor burung Garuda, yang kesemuanya itu adalah nama-nama hewan, jadi merupakan hal yang salah bila kesenian Kuda Lumping dianggab kelompok kesenian yang mendewakan hewan.
Sekelompok orang juga beranggapan bahwa kesenian Kuda Lumping dengan dengan kemusyrikan karena identik dengan kesurupan atau kalap, kemenyan, dupa dan bunga bungaan, anggapan bahwa kuda lumping dekat dengan kemusyrikan adalah tidak benar, justru para pelaku seni Kuda Lumping berusaha mengingatkan manusia bahwa di dunia ini ada dua macam alam kehidupan, ada alam kehidupan nyata dan alam kehidupan Gaib hal ini telah dijelaskan dalam Alqur`an surat Anas dan manusia wajib untuk mengimaninya. Fenomena kalap atau kesurupan bisa terjadi dimana saja dan dapat menimpa siapa saja, baik dikalangan arena Kuda Lumping maupun tempat-tempat formal seperti Sekolahan atau Pabrik, hal itu tergantung pada kondisi fisik dan Psikologis individu yang bersangkutan, sedangkan kemenyan, dupa dan bunga-bungaan tidak lebih dari sekedar wewangian yang tidak pernah dilarang dalam Islam bahkan dianjurkan penggunaanya.
Selain para tokoh yang telah disebutkan, dalam kesenian kuda lumping warna juga memiliki makna, warna yang dominan dalam kesenian ini ada tiga, warna merah, hitam dan putih, masing-masing warna tersbut secara filosois juga memiliki makna yang berbeda, warna merah melambangkan kebernian, kewibawaan dan semangat kepahlawanan, warna putih melambangkan kesucian, makna kesucian disini adalah kesucian pikiran dan hati yang akan direfleksikan dalam semua panca indera sehingga menghasilakan suatu tindak-tanduk yang selaras dan dapat dijadikan panutan, warna hitam
Seni Kuda lumping merupakan jenis kesenian rakyat yang sederhana, dalam pementasanya tidak diperlukan suatu koreografi khusus serta perlengkapan peralatan gamelan seperti halnya karawitan, gamelan untuk mengiringi seni kuda lumping cukup sederhana, hanya terdiri dari satu buah kendang, dua buah kenong, dua buah gong dan sebuah selompret, sajak-sajak yang dibawakan dalam mengiringi tarian semuanya berisikan himbauan agar manusia senantiasa melakukan perbuatan baik dan selalu eling ingat pada sang pencipta.
Secara filosofis masing-masing alat musik yang digunakan dalam mengiringi tari kuda lumping juga memiliki makna yang berbeda, kendang berbunyi ndang…ndang…tak…ndlab mempunyai makna yen wis titiwancine ndang-ndango mangkat ngadeb marang pengeran yang mempunyai arti kalau sudah waktunya cepat-cepat bangun menghadap tuhanmu, dalam melakukan ibadah jangan suka ditunda-tunda kenong ……. Bendhe ……. Gong ……..
TARI KUDA LUMPING
Kuda Lumping adalah seni tari yang dimainkan dengan properti berupa kuda tiruan, yang terbuat dari anyaman bambu atau kepang. Tidak satupun catatan sejarah mampu menjelaskan asal mula tarian ini, hanya riwayat verbal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Konon, tari Kuda Lumping merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda. Ada pula versi yang menyebutkan, bahwa tari Kuda Lumping menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Versi lain menyebutkan bahwa, tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda.
Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, tari Kuda Lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.
Seringkali dalam pertunjukan tari Kuda Lumping, juga menampilkan atraksi yang mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain. Mungkin, atraksi ini merefleksikan kekuatan supranatural yang pada jaman dahulu berkembang di lingkungan Kerajaan Jawa, dan merupakan aspek non militer yang dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda.
Di Yogyakarta, seni ini akrab dengan masyarakat di beberapa daerah, seperti Sleman, Bantul, Kulon Progo, dan daerah-daerah lainnya. Tari ini biasanya ditampilkan pada event-event tertentu, seperti menyambut tamu kehormatan, tasyukuran, pesta pernikahan, ulang tahun, khitanan, dan sebagai ucapan syukur, atas hajat yang dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa.
Dalam pementasanya, tidak diperlukan suatu koreografi khusus, serta perlengkapan peralatan gamelan seperti halnya Karawitan. Gamelan untuk mengiringi tari Kuda Lumping cukup sederhana, hanya terdiri dari Kendang, Kenong, Gong, dan bendhe. Sajak-sajak yang dibawakan dalam mengiringi tarian, biasanya berisikan himbauan agar manusia senantiasa melakukan perbuatan baik dan selalu ingat pada Sang Pencipta.
Selain mengandung unsur hiburan dan religi, kesenian tradisional Kuda Lumping ini seringkali juga mengandung unsur ritual. Karena sebelum pagelaran dimulai, biasanya seorang pawang hujan akan melakukan ritual, untuk mempertahankan cuaca agar tetap cerah mengingat pertunjukan biasanya dilakukan di lapangan terbuka.
Konon, tari Kuda Lumping merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda. Ada pula versi yang menyebutkan, bahwa tari Kuda Lumping menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Versi lain menyebutkan bahwa, tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda.
Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, tari Kuda Lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.
Seringkali dalam pertunjukan tari Kuda Lumping, juga menampilkan atraksi yang mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain. Mungkin, atraksi ini merefleksikan kekuatan supranatural yang pada jaman dahulu berkembang di lingkungan Kerajaan Jawa, dan merupakan aspek non militer yang dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda.
Di Yogyakarta, seni ini akrab dengan masyarakat di beberapa daerah, seperti Sleman, Bantul, Kulon Progo, dan daerah-daerah lainnya. Tari ini biasanya ditampilkan pada event-event tertentu, seperti menyambut tamu kehormatan, tasyukuran, pesta pernikahan, ulang tahun, khitanan, dan sebagai ucapan syukur, atas hajat yang dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa.
Dalam pementasanya, tidak diperlukan suatu koreografi khusus, serta perlengkapan peralatan gamelan seperti halnya Karawitan. Gamelan untuk mengiringi tari Kuda Lumping cukup sederhana, hanya terdiri dari Kendang, Kenong, Gong, dan bendhe. Sajak-sajak yang dibawakan dalam mengiringi tarian, biasanya berisikan himbauan agar manusia senantiasa melakukan perbuatan baik dan selalu ingat pada Sang Pencipta.
Selain mengandung unsur hiburan dan religi, kesenian tradisional Kuda Lumping ini seringkali juga mengandung unsur ritual. Karena sebelum pagelaran dimulai, biasanya seorang pawang hujan akan melakukan ritual, untuk mempertahankan cuaca agar tetap cerah mengingat pertunjukan biasanya dilakukan di lapangan terbuka.
Untuk memulihkan kesadaran para penari dan penonton yang kerasukan, dalam setiap pagelaran selalu hadir para pawang, yaitu orang yang memiliki kemampuan supranatural yang kehadirannya dapat dikenali melalui baju serba hitam yang dikenakannya. Para pawang ini akan memberikan penawar hingga kesadaran para penari maupun penonton kembali pulih.
Langganan:
Postingan (Atom)